Pada tanggal 5 Maret 2014, Garuda Indonesia bergabung dengan aliansi SkyTeam sebagai anggota yang ke 20 dan berlangsung di Denpasar, Bali.[5]
Garuda telah menandatangani perjanjian kerjasama dengan Liverpool FC
Inggris dan kini merupakan sponsor global untuk Liverpool FC.[6]
Pada tanggal 30 Mei 2014, Garuda Indonesia melayani rute ke Amsterdam
dengan nonstop menggunakan Boeing 777-300ER yang memiliki kabin terbaru
dari semua armada. Pada tanggal 8 September 2014, Garuda Indonesia
membuka kembali rute Eropa kedua mereka yaitu London dengan armada yang
sempat digunakan untuk menerbangi rute nonstop menuju Belanda.[7]
Asal nama Garuda Indonesia
Pada tanggal 25 Desember 1949, wakil dari KLM yang juga teman Presiden Soekarno, Dr. Konijnenburg, menghadap dan melapor kepada Presiden di Yogyakarta bahwa KLM Interinsulair Bedrijf akan diserahkan kepada pemerintah sesuai dengan hasil Konferensi Meja Bundar
(KMB) dan meminta kepada beliau memberi nama bagi perusahaan tersebut
karena pesawat yang akan membawanya dari Yogyakarta ke Jakarta nanti
akan dicat sesuai nama itu.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Soekarno menjawab pertanyaan
tersebut dengan mengutip satu baris dari sebuah sajak bahasa Belanda
gubahan pujangga terkenal, Raden Mas Noto Soeroto di zaman kolonial yang berisi, Ik ben Garuda, Vishnoe's vogel, die zijn vleugels uitslaat hoog boven uw eilanden ("Aku adalah Garuda, burung milik Wisnu yang membentangkan sayapnya menjulang tinggi diatas kepulauanmu")
Maka pada tanggal 28 Desember 1949, penerbangan bersejarah terjadi
pada pesawat DC-3 dengan registrasi PK-DPD milik KLM Interinsulair
terbang membawa Presiden Soekarno dari Yogyakarta ke Jakarta untuk
menghadiri upacara pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia
Serikat (RIS) dengan nama Garuda Indonesian Airways, yang diberikan oleh
Presiden Soekarno kepada perusahaan penerbangan pertama ini.
Sejarah
Dekade 1940-1950-an: awal pendirian, perjuangan, dan menjadi maskapai nasional
Douglas DC-3 Seulawah, pesawat perdana Garuda Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah, sumbangan rakyat Aceh.
Pada tanggal 26 Januari 1949 dianggap sebagai hari jadi Garuda Indonesia, dimana maskapai bernama Indonesian Airways terbang dari Jogjakarta menuju Jakarta dengan pesawat yang bernama Seulawah atau Gunung Emas, yang diambil dari nama gunung terkenal di Aceh dana untuk membeli pesawat ini, didapatkan dari sumbangan rakyat Aceh,
pesawat tersebut dibeli seharga 120.000 Dollar Malaya yang sama dengan
20 kg emas. Maskapai ini tetap mendukung Indonesia sampai revolusi
terhadap Belanda berakhir, Garuda Indonesia mendapatkan konsesi monopoli penerbangan dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1950 dari KLM, perusahaan penerbangan nasional Belanda. Selain itu, Pemerintah Birma
juga membantu pendirian maskapai ini. Garuda pada awalnya adalah hasil
joint venture antara Pemerintah Indonesia dengan maskapai Belanda,
Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM) dengan kalkulasi Pemerintah
Indonesia memiliki 51% saham dan selama 10 tahun pertama, perusahaan ini
dikelola oleh KLM, karena paksaan nasionalis KLM menjual sebagian dari
sahamnya pada tahun 1953 ke Pemerintah Indonesia dan pada waktu yang bersamaan, maskapai ini memiliki 46 pesawat. Tahun 1956, Garuda Indonesia meresmikan pelayanan penerbangan haji menuju Mekkah dengan Convair CV-340.
Untuk membalas budi Birma, Garuda menyumbangkan sebuah pesawat DC-3
kepada Pemerintah negara itu. Saat itu, Garuda memiliki 27 pesawat
terbang, staf terdidik, bandara dan jadwal penerbangan. Kesiapan Garuda
Indonesia ini membuat mereka berbeda dengan maskapai pionir lainnya di
Asia.
Convair 990 "Majapahit" milik Garuda Indonesian Airways di Bandar Udara Internasional Schiphol, Amsterdam pada tahun 1965.
Dekade ini merupakan dekade pembangunan sekaligus kemajuan untuk Garuda. Pada tahun 1961, Garuda mendatangkan pesawat turboprop Lockheed L-188C Electra, ketiga pesawat baru itu masuk dinas aktif pada bulan Januari 1961 dan diberi nama "Pulau Bali", "Candi Borobudur" dan "Danau Toba", yang merupakan nama tujuan wisata Indonesia yang paling dikenal di luar negeri, tahun 1963, Garuda membuka rute penerbangan menuju Tokyo dengan pesawat L-188 dengan perhentian di Hongkong, rute ini kemudian dikenal dengan nama "Emerald Route". Garuda memasuki era jet pada tahun 1964 dengan datangnya tiga pesawat baru Convair 990A yang diberi nama "Majapahit", "Pajajaran" dan "Sriwijaya",
yang merupakan nama kerajaan kuno di Indonesia dan menjadikan Garuda
Indonesia maskapai pertama di Asia Tenggara yang mengoperasikan pesawat
jet subsonik. Saat itu, jet bermesin empat Convair 990 merupakan pesawat
berteknologi canggih dan memiliki kecepatan tertinggi dibandingkan
pesawat-pesawat lain yang sejenis, seperti Boeing 707 dan Douglas DC-8. Dengan pesawat ini pula Garuda membuka penerbangan antarbenua dari Jakarta ke Amsterdam melewati Medan, Bombay, Beirut dan Roma. Pada tahun 1966,
Garuda kembali memperkuat armada jetnya dengan mendatangkan sebuah
pesawat jet baru, yaitu Douglas DC-8. Sementara, pada akhir tahun
1960-an, Garuda membeli sejumlah pesawat turboprop baru seperti, Fokker F27. Pesawat ini datang secara bertahap mulai tahun 1969 hingga 1970 dari hasil penjualan beberapa pesawat berbadan lebar untuk memenuhi pasar domestik yang terus berkembang.
Dekade 1970-1980-an: Berkembang maju dan mendunia
Boeing 747 Garuda Indonesia mendarat di Bandara Internasional Zurich pada bulan Mei 1985.
McDonnell Douglas DC-10-30 Garuda Indonesia baru saja mendarat di Bandara Internasional Charles de Gaulle.
Dilanjutkan pada dekade 1970-1980-an. Wiweko Soepono
Dirut Garuda Indonesia, melakukan program revitalisasi perusahaan yang
mencakup perbaikan layanan, mengganti sistem manajemen, anti-KKN,
memperbarui dan menambah armada serta menambah rute Domestik dan
Internasional kemudian, beberapa pesawat di jual untuk menggarap pasar
domestik dengan Fokker F-27 dan Fokker F-28 dan pada pertengahan 1970an,
muncul dimana sebuah tren kenaikan jumlah penumpang yang naik pesawat
dan tren tersebut tidak disia-siakan oleh Wiweko untuk membeli pesawat
berbadan lebar dengan jarak jangkauan yang jauh dan penumpang yang
banyak yaitu, Boeing B747-200 dan Douglas DC-10-30 yang di peruntukkan
Garuda menerbangi rute baru di Benua Asia, Australia dan Eropa dan pada tahun 1982
Garuda Indonesia menjadi maskapai pengguna pertama Airbus A300B4-600
FFCC (Modifikasi kokpit dengan 2 awak).Memiliki inisiatif dan inovasi
yang menarik di Garuda Indonesia, Wiweko yang menjabat menjadi Dirut
selama 16 tahun berhasil membawa GIA menjadi maskapai terbesar ke 2 se
Asia setelah Japan Airlines serta menjadi maskapai terbesar dan berpengaruh di belahan bumi bagian selatan.
1985: Rebranding
Kemudian di tahun 1985,
pimpinan GIA digantikan oleh R.A.J Lumenta. Kemudian, Ia melakukan
re-branding terhadap maskapai dengan merubah nama dari Garuda Indonesian
Airways menjadi Garuda Indonesia dan memindahkan pangkalan utama yang
sebelumnya berada di Bandara Kemayoran dan Bandar Udara Halim Perdanakusuma
dipindahkan ke Soekarno Hatta dan melakukan perbaikan sistem manajemen
dan penambahan rute. Pada tahun 1985, Garuda Indonesia berhasil merintis
penerbangan menuju Amerika Serikat dengan Douglas DC-10-30 bersama maskapai Continental Airlines dengan destinasi Los Angeles dan berhenti di Denpasar-Biak-Hawaii dengan menggunakan logo spesial gabungan dari Continental Airlines dan Garuda Indonesia.
Dekade 1990-2000-an: Kecelakaan beruntun, kesulitan ekonomi dan reputasi buruk
Boeing 747-400 Garuda Indonesia mendarat di Bandara Internasional Frankfurt.
MD-11 Garuda Indonesia mendarat di Hawaii sebelum melanjutkan penerbangan ke Los Angeles.
Sepanjang dekade 1990, Garuda yang saat itu dipimpin oleh Wage Mulyono melakukan pembelian armada pesawat 9 unit McDonnell-Douglas MD-11 (datang tahun 1991 sebagai pengganti DC-10), Boeing 737 seri -300 , -400, dan -500 (datang tahun 1992, sebagai pengganti DC-9), serta Boeing 747-400 (datang tahun 1994, 2 dibeli langsung dari Boeing, 1 dibeli dari Varig) dan Airbus A330-300 (datang tahun 1996, pembeli pertama). Tetapi, pada masa ini Garuda mengalami dua musibah besar yang terjadi di dua tempat, yang pertama di Fukuoka dan satunya lagi terjadi di desa Sibolangit, Sumatera Utara. Musibah yang kedua ini ini menewaskan seluruh penumpangnya, disamping itu, maskapai ini juga terkena imbas Krisis Finansial Asia
yang juga membuat keuangan Indonesia menjadi lesu. Hal ini membuat
Garuda harus memotong semua rute yang tidak menguntungkan, terutama rute
jarak jauh menuju ke Eropa maupun Amerika (meski beberapa rute ke Eropa
seperti Frankfurt, London dan Amsterdam sempat dibuka kembali, namun
akhirnya kembali ditutup.). Disamping menutup rute jarak jauh yang tidak
menguntungkan, maskapai ini juga mengembangkan rute domestik yang bisa
membantu meningkatnya neraca keuangan.
Memasuki tahun 2000-an, maskapai ini membentuk anak perusahaan
bernama Citilink yang menyediakan penerbangan berbiaya murah dari
Surabaya ke kota-kota lain di Indonesia. Namun, Garuda masih saja
bermasalah, selain menghadapi masalah keuangan, Beberapa peristiwa
internasional (juga di Indonesia) juga memperburuk kinerja Garuda,
seperti Serangan 11 September 2001, Bom Bali I dan Bom Bali II, wabah SARS, dan Bencana Tsunami Aceh 26 Desember 2004. Selain itu, Garuda juga menghadapi masalah keselamatan penerbangan, terutama setelah peristiwa Garuda Indonesia Penerbangan 200,
akibat hal ini, Uni Eropa memberi surat larangan terbang ke Eropa bagi
semua maskapai Indonesia. Namun, setelah perbaikan besar-besaran, tahun
2010 maskapai ini diperbolehkan kembali terbang ke Eropa, setelah misi
inspeksi oleh tim pimpinan Frederico Grandini yang bertugas untuk
memastikan segala kemungkinan yang ada untuk memulai pembukaan kembali
rute dengan merekomendasikan pembukaan rute Jakarta - Amsterdam.[8]